Uang Panai' (sebuah kritik orang awam miskin)

14 Maret 2009 01.13 By Firdaus , In

Sebagai seorang lelaki normal dan sudah memiliki pekerjaan tetap, maka hal selanjutnya yang terpikirkan tentu saja adalah menikah. Menikah merupakan penyempurna agama dan wajib hukumnya bagi Ikhwan yang sudah mampu. Wajib pula kita ingat bahwa pernikahan tidak boleh dipersulit. Pernikahan merupakan media untuk mencegah dari perbuatan yang haram.

Namun apa jadinya jika adat menjadi penghalang perkawinan? Adakah yang seperti itu? Ada, dan mungkin banyak. Sebagai orang bugis, saya sudah tidak asing lagi dengan hal seperti ini. Setiap prosesi pernikahan secara adat pasti mensyaratkan adanya uang panai'. Uang panai' itu semacam seserahan kepada keluarga calon pengantin wanita dari calon pengantin pria. Sayangnya, budaya uang panai' ini justru kadang memberatkan kaum pria. Mengapa? Sebab nilainya sangat besar dan kadang sangat boros. Beberapa waktu yang lalu saya mengobrol dengan teman dan mengatakan bahwa standar uang panai' sekarang adalah 35 Juta. Wah, harga yang sangat mahal bagi orang dari golongan saya. Mengapa bisa semahal itu? Saya tidak berani menjawabnya secara ilmiah, anda dapat membacanya disini. Namun menurut saya besarnya jumlah uang panai' itu tidak bisa lepas dari sifat serakah yang ada pada manusia.

Jika uang panai' menjadi penghalang bagi putra-putra bugis untuk menikah dengan dara-dara bugis, maka putra-putra bugis akan cenderung untuk mencari gadis dari suku lain yang tidak mensyaratkan uang panai' dalam jumlah banyak. Dan jika berlangsung terus menerus, hal tersebut dapat mengancam eksistensi putra asli bugis itu sendiri, sebab anak yang lahir dari bapak bugis dan ibu yang bugis pula akan semakin berkurang.

Nah apa solusinya? Menurut saya diperlukan adanya budaya sipakainge'. Mari saling mengingatkan antara kita sebagai orang bugis. Mari mulai dari diri sendiri. Jika kita mempunyai anak atau adik perempuan, janganlah mempersulit dengan uang panai' saat ada pria yang datang melamar. Harus ada tokoh terpandang dan berpengaruh yang memberi contoh. Jangan sampai uang panai' itu akan terus meningkat sejalan dengan inflasi perekonomian. Sebab itu tadi, selain dapat mempersulit pernikahan, hal tersebut secara tidak langsung dapat mengancam eksistensi suku bugis itu sendiri. Jika eksistensi suku bugis itu sudah berkurang, apa lagi yang akan menjadi identitas kita????

Dan yang paling penting, jika uang panai' itu terus-terusan menjadi mahal, kapan saya akan menikah??? Atau haruskah saya menikah dengan suku lain yang berarti turut serta mengancam eksistensi suku saya sendiri??? Ironis.

7 Respons:

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
14 Maret 2009 pukul 08.34
Anonim mengatakan...

Anonim mengatakan...

Hahaha,,,susah mmg jd cowk apalg kl mw meminang cewk bugis.. Yah lg2 mslah adat..Beberapa kasus penyebab kegagalan pernikahan i2 krn uang 'panai',, perlu diralat>> yg melatar belakangi TINGGI-RENDAH/MAHAL-MURAHnya uang 'panai' bukan dari sifat serakah yang ada pada manusia.,tp yg sy tahu biasanya dari latar belakang strata keluarga,keturunan bangsawan/tdk, profesi/pendidikanx,kecantikanx dsb.. Ya tp kl sm2 sdh suka,terkadang uang 'panai bkn lg menjadi jurang/hambatan kembali ke kesepakatan kedua pihak keluarga..

14 Maret 2009 pukul 08.35
Firdaus mengatakan...

Thanks atas ralatnya, hehehehehhe, maklum itu cuma pemikiran orang awam. But, banyak yang gagal gara2 masalah uang panai' ji. Huh, bertentanganmi dengan ajaran "pernikahan harus dipermudah".

14 Maret 2009 pukul 12.09
Anonim mengatakan...

Hahahaha, makanya landasan agama yang kuat sangat diperlukan supaya adat istiadat tidak jadi memberatkan (bukannya dalam memilih pasangan, yg pertama kali dipertimbangkan adalah agamanya? so, bwt keluarga wanita yg beragama tentunya tidak mempermasalahkan masalah pa'nai dan buat lelaki yg baik pastinya memberikan penghargaan terbaik sesuai kemampuannya kepada calon istrinya bukan???. Adat ini juga merupakan keunikan tersendiri lho......, lagian kalau dek Daus mau protes.... (nabilang art 2 tonic, protesko sama nenek moyang, hahahahahahahaha)

16 Maret 2009 pukul 09.07
Unknown mengatakan...

kekekekeke...
untung bukanka' orang bugis...
selamet2...
tapi bgmna klo dapatka org bugis????
matima' saya...
lebih baek cari org jawa deh...
katanya minum2 teh ji bede...
anyone?

16 Maret 2009 pukul 13.15
Unknown mengatakan...

adat harus dipegang teguh tapi..harus disesuaikan dg kondisi sekarang. kalo gak punya uang byk, kasihan dong...masa gak bisa menikah gara2 uang panai nya kurang?

16 Maret 2009 pukul 13.39
Firdaus mengatakan...

@ kak mule' : yah begitumi seharusnya kak, tapi kenyataan tidak seindah rencana, apalagi klo sudah dibutakan cinta, kekekekeke

@fajrin : edd, bgmn ini kau, dulu org Sinjai, trus yang Telkom Parepare, skrg orang jawa lagi, hmmm mentang2 ada orang Purwerejo di kantormu, xixixixixixi

@sang cerpenis bercerita : wah makasih atas kunjungannya mbaq. Hmmm, ini mungkin cerita saat seorang anak rakyat jelata jatuh cinta sama bangsawan, lagi2 masalah strata....fiuhhhh

16 Maret 2009 pukul 14.56

Posting Komentar