Doa Masa Kecil

16 Maret 2008 11.47 By Firdaus

Masih teringat dalam memori ingatan saya, saat masih duduk di sekolah dasar. Saat itu bulan ramadhan dan musim hujan sedang deras-derasnya. Malam, selepas buka puasa, saya telah berada di beranda rumah menunggu sang langit berhenti menumpahkan hujan. Sebab, sebentar lagi Shalat Isa yang akan dilanjutkan dengan Shalat Sunnah Tarwih akan dimulai. Masjid yang jaraknya sekitar 898 meter, hampir 1 Kilometer, oleh hujan yang lebat dan angin yang kencang serasa menjadi 155 Kilometer. Meski saat itu niat masih bukan ibadah, hanya sekedar ingin berkumpul bersama kawan-kawan, namun ada rasa sakit hati yang dalam. Mengapa didekat rumah saya belum ada masjid? Dekat dalam artian meskipun hujan saya tetap dapat berlari tanpa basah yang berarti menuju masjid. Saat itu saya berdoa seperti orang yang didzholimi, Ya Tuhan, Bangunlah sebuah Masjid Di Dekat Rumahku.

Peristiwa itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, saat disuatu masa, ketika pulang dari tempat perantauan, ada sesosok bangunan yang sedang dibangun tidak jauh dari rumahku. Saya bertanya pada mom “Bunda, bangunan apakah itu gerangan? tentu dengan logat khas bugis bapak Wapres, bukan dengan logat melayu yang puitis itu. Mom menjelaskan kalau yang akan dibangun itu adalah sebuah masjid. Saya tersentak, terguncang, bahkan terhempas jauh menembus dimensi reltivitas waktu saat masih SD dulu. Bangunan itu tidak lama lagi akan menjadi nyata. Bangunan yang dulu saya minta dalam sebuah doa masa kecil. Benar adanya, kalau semua doa itu akan diterima. Yang ada mungkin doa itu akan dikabulkan terlambat atau dikabulkan dalam bentuk yang lain.

Kini, di masa bulan ramadhan baru saja berlalu, masjid itu telah tiga kali dalam tiga tahun yang berbeda digunakan untuk Shalat Tarwih. Namun ada sedikit ironi. Saat Tuhan telah mengabulkan doa itu, saat ada cuti yang cukup panjang untuk berlama-lama dirumah, saya justru mengkhianati doa saya sendiri. Kadang di malam yang cerah dibulan ramadhan lalu, saya lebih memilih tidur daripada mensyukuri pemberian Tuhan itu. Bahkan saat adzan subuh berkumandang dekat, bantal-bantal justru beralih fungsi menjadi penutup telinga.

Bukankah ini yang telah lama saya idamkan? Bukankah disana saya dulu berencana akan berkumpul bersama kawan-kawan untuk mengaji sesudah maghrib sambil menunggu isa?

Haruskah saya berdoa lagi untuk memindahkan masjid itu ke dalam rumahku, atau mungkin sekalian saja ke dalam kamarku?

“Ya Tuhan, hambaMu yang tak tahu malu ini kembali memohon. Berilah hambamu ini kekuatan fisik dan terlebih batin dan hidayahmu untuk melangkahkan kaki ke rumahMu yang mulia yang dulu pernah aku minta Ya Tuhan. Dan jangan golongkan aku orang-orang yang tidak bersyukur padaMu, Amin.

(untuk doa-doaku yang belum terkabul dan untuk doa-doa yang telah terkabul namun tersia-siakan)

Makassar, 15 Oktober 2007

0 Respons:

Posting Komentar